PRO TALK SERIES #03 – PARADIGMA KOTA & ARSITEKTUR DI MASA DEPAN: LANSKAP KOTA RIMBA YANG INOVATIF, REPRESENTASI INDONESIA MODERN BERKELANJUTAN.

Pro Talk Series sebagai platform diskusi bersama lintas profesi. Platform ini merupakan sebuah gerakan bersama untuk memformulasikan Kota dan Arsitektur di masa depan yang berkelanjutan (sustainable), melalui perspektif berbagai disiplin ilmu yang terkait perencanaan dan perancangan lingkungan binaan.

Pro Talk series #3 yang menghadirkan pembicara dari disiplin arsitektur lanskap, diselenggarakan hari Rabu 23 Februari 2022. Acara dipandu oleh Dr (cand). Daisy Radnawati, ST, MSi., Ketua Forum Pendidikan Arsitektur Lanskap Indonesia, menghadirkan 3 Pembicara yaitu Ir. Bintang Agus Nugroho, Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA, IALI, dan Ir. Budi Faisal, MAUD, MLA, Ph.D, IALI. Ketiganya mengangkat sub topik Lanskap Kota Rimba yang Inovatif, Representasi Indonesia Moderen Berkelanjutan.

Dalam sambutannya Ketua Pengurus Nasional Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (PN IALI) Dian Heri Sofian, ST, MT, IALI menyampaikan Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) yang berafiliasi International Federation of Landscape Architect (IFLA) dapat berperan dalam berbagai skala perencanaan mulai skala Makro, Meso hingga Mikro. Dengan IKN, bangsa kita sedang menghadapi titik sejarah baru dalam perencanaan pembangunan Nasional dengan diundang-undangkannya pemindahan Ibu kota negara (IKN). Sebagai profesional tentunya sangat ingin melihat sebuah proses dan produk perencanaan yang ideal, sehingga pemindahan IKN dapat ditulis dengan tinta emas dan kemudian proses perencanaannya dapat dijadikan referensi dalam perencanaan pengembangan kawasan dimasa depan.

 

 

IKN Ibu Kota (yang) Net-zero untuk Menyelamatkan IKL/ DKI Jakarta

 

Bintang Nugroho memulai pemaparannya dengan menyampaikan bahwa pada dasarnya pembangunan ibu kota baru tidak harus dengan meninggalkan ibu kota lama. Berita yang beredar selalu menggambarkan bahwa Ibu kota Jakarta patut tinggalkan karena akan segera tenggelam tentunya ini akan mengusik nurani dengan sebuah pilihan pindah karena yang lama rusak dan mari kita pindah ke tempat yang baru untuk memulai sesuatu yang baru. Namun benar adanya jika dilihat dalam UU IKN memang tidak ditemukan kata-kata tentang menyelamatkan DKI Jakarta, ini perlu menjadi perhatian kita bersama.


Ibu kota negara harus ditempatkan terhormat, Ibu kota juga harus dapat mencerminkan kedalaman makna dan spiritualitas sebuah bangsa, sehingga harusnya pusat negara adalah ibarat sebuah ruang kosong, rahim kehidupan bangsa sebuah tempat dimana kita bisa memberi terus menerus energi untuk pertumbuhan, kelahiran dan kebaharuan.

 

Ibu Kota Negara baru idealnya adalah ibu kota yang net zero dimana kondisi seimbang antara emisi yang dihasilkan dan yang mampu diserap oleh wilayahnya sehingga dapat dihasilkan Carbon offset bagi daerah lain di Indonesia yang mengemisikan karbon lebih besar. Namun persoalannya adalah ukuran, dimana pembangunan dengan ukuran besar akan menghasilkan jejak karbon yang besar harusnya berpegang teguh dengan prinsip Build more with less. Dengan aturan area terbangun 25% dalam undang UU IKN kita harus selektif apa yang akan dibangun.

Pembangunan IKN dengan memikirkan kebajikan pada lingkungan bukan saja dalam hal memberikan penghargaan akan nilai-nilai kearifan budaya lokal dan lingkungan di Kalimantan, namun juga pemikiran untuk menyelamatkan Jakarta sebagai Ibukota lama, sehingga spritnya harus juga muncul besamaan dengan pembangunan IKN yang baru.

 

 

IKN Biosphere Masa Depan, Sintesa Lanskap Budaya dan Keberlanjutan.

 

Dr. Siti Nurisjah, pembicara kedua dalam Pro Talk Series #3 IKN menegaskan kembali posisi seorang arsitek lanskap. Peran seorang arsitek lanskap dalam sebuah pekerjaan perencanaan bukan saja hanya untuk memilih tanaman, tanaman adalah bagian kecil dari pengisi lingkungan. Seorang Arsitek lanskap menurut beliau adalah Arsitek untuk lanskap (bentang alam), sehingga ia harus mampu bekerja dan berusaha menempatkan manusia, struktur dan aktifitasnya selaras dengan kondisi alam.


Selanjutnya beliau menyampaikan Indonesia sebagai negara kepulauaan tropis dengan beragam lanskap fisik dan budaya. Lanskap fisik rentan bahaya geologis serta gangguan ekologis. Pulau-pulau Indonesia sangat rentan dengan bahaya ekologis yang disebabkan oleh manusia. Pulau kalimantan memiliki nilai positif bukan saja dilewati oleh equator, namun juga dominan tutupan hutan dikenal sebagai paru-paru dunia, mempunyai biodiversitas yang tinggi, unik, ekslusif dan endemik (banyak satwa liar seperti bekantan, orang hutan, burung rangkong dan pesut).

Kalimantan juga tempat migrasi burung (Asia dan Australia). Jalur migrasi adalah indikator kesehatan ekosistem global, sehingga dalam skala hayati dia tidak berdiri sendiri namun ada konektifitas ekologis yang saling terkait, sehingga perlu kehati-hatian dalam mengubah hutan agar kita tidak kehilangan kekayaan hayati tersebut. Jika kota yang akan dibangun sebagai pusat ekositem hayati dunia maka dapat dikatakan spirit of kalimantan sebagai pulau hutan ekuatorial yg memiliki pengaruh global pada lingkungan perlu dilestarikan.

Ibu kota baru yang diharapkan menjadi Smart forest City atau kota cerdas didalam hutan dengan luasan 75% kondisi alam, jika kita mampu mengolahnya dengan baik diharapkan dia dapat menjadi biospfer masa depan Indonesia; representasi wajah dan peradaban Indonesia dimasa depan, baik secara visual, fisik, ekologis dan sosial. Sehingga dapat menjadi referensi bagi pembangunan kota-kota baru atau revitalisasi kota lama di indonesia.

Healty Landscape, Healthy People, Healty Earth!

 

 

Lanskap dan Arsitektur Kota Baru yang Membahagiakan Warganya

 

Banyak pengembangan kota-kota baru didunia pada akhirnya gagal dan tidak dapat membahagiakan warganya walaupun pengembangan kota baru tersebut sudah mengunakan perencanaan yang matang, tidak terburu-buru, mengunakan inovasi, dan kemajuan teknologi.


Jadi IKN akan menjadi kota seperti apa ? Pertanyaan yang sangat penting untuk kita, mengawali pemaparan Ir. Budi Faisal, MAUD, MLA, Ph.D, IALI. Menyunting pernyataan Jan Gelh seorang arsitek dan urban designer dari Denmark ”An Endless number of green Buildings Doesn’t make a sustainable city”.

Desain kota itu perlu mempertimbangkan skala, Human scale, micro space yang secara estetis menyenangkan, Intimacy, dan mengoreintasi orang seolah-olah mereka meresa terundang untuk duduk, berjalan – jalan, bersepeda serta terlibat dalam kegiatan sosial dan komersial yang sesuai dengan budaya lokal yang ada pada wilayah tersebut.

Kota itu untuk manusia, manusia yang bertanggung jawab terhadap alam, flora dan faunanya. Desain kota dengan mengedepankan skala manusia sangat dekat dengan budaya di Asia Tenggara. Salah satu contoh skala manusia dalam design dalam kota di indonesia salah satunya ada di Malioboro – Yogyakarta dan Braga – Bandung. Dalam ruang-ruang kota tersebut terjadi interaksi yang dekat antar manusia.

Perencanaan Ibu kota Negara perlu pertimbangan untuk menghadirkan desain skala manusia. Skala besar, Monumentitas dan aksis itu hanya nyaman secara visual, namun kenyamanan penguna kota ada pada skala manusia khususnya pada interaksi sosial pada masyarakat kotanya. Integrasi grey infrastructure dengan ecological infrastructure berbasis alam dalam menjaga keberlanjutan jasa ekosistem lingkungan sehingga mempertahankan karakteristik IKN yang mewadahi siklus hidrologis Kawasan.

Kolaborasi antar disiplin sejak awal - selain kelompok keilmuan ekonomi, urban development, engineering, juga harus memberi ruang bagi keilmuan humaniora dan sosial budaya; diantaranya studi tentang ekologi manusia, sosiologi perkotaan, antropologi, etnologi, dll. Perencanaan ruang kota harus menukik sampai pada skala ruang- ruang mikro yang berbasis kearifan lokal.

 

-----------------------------------------------------------------

Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi :

 

 

Pengurus Nasional IALI

BIDANG KEPROFESIAN DAN PUBLIKASI

sekretariat@iali.or.id